Berikut adalah sebuah kisah mengharukan tentang keharmonisan rumah tangga...semoga ada hikmahnya...Amin!
==============================================================
Saat aku dilamar suamiku, aku merasa bahwa akulah wanita yang paling
beruntung
di muka bumi ini. Bayangkan dari sekian juta wanita di dunia ini, aku
yang dia pilih untuk jadi isterinya. Kalau aku persempit, dari sekian
banyak wanita di negara ini, di propinsi ini, di kota ini, di rumah
ibuku yang anak perempuannya 3, aku yang paling bungsu yang dipilih
untuk jadi isterinya! Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.
Aku
berusaha keras menjadi isteri yang baik, patuh pada suami, menjaga
kehormatanku sebagai isterinya, menjadi ibu yang baik, membesarkan
anak-anakku menjadi sholih dan sholihah. Aku memanfaatkan pernikahanku
sebagai ladang amalku, sebagai tiket ke surga.
Walaupun begitu... hidup seperti halnya makanan penuh dengan bumbu.
Ada
bumbu yang manis, yang pahit, yang pedas, dan lain-lain. Aku juga
menghadapi yang namanya ketidakcocokan atau selisih paham dengan
suamiku, baik itu tidak sepaham, kurang sepaham, agak sepaham, hampir
sepaham, atau apapunlah itu. Tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku mencoba berpikiran terbuka, mengakui kebenaran bila suamiku memang
benar dan mengakui kesalahan bila aku memang salah. Aku mencoba
bertuturkata lembut menegur kesalahan suamiku dan membantunya
memperbaikinya agar ia merubah sikapnya. It's all about compromising.
Namun apalah daya... pada akhirnya, terucap pula kata itu dari bibir
suamiku "kita cerai saja!". hanya karena sebuah masalah kecil yang
tanpa sengaja menjadi besar.
Saat itu seperti kudengar suara petir menggelegar di kepalaku. Arsy
pun berguncang untuk ke sekian kalinya. Dan hatiku hancur berkeping-
keping. Aku menjadi wanita paling pilu sedunia.
Tak ada yang kupikirkan selain... yah kita memang harus berpisah!
Kuingat kembali pertengkaran-pertengkaran kami sebelumnya... Kita
memang sudah nggak cocok!
Kupikirkan kesalahan-kesalahan apa yang telah aku lakukan namun lebih sering mengingat kesalahan-kesalahan suamiku.
Aku menangis sejadi-jadinya hingga dadaku sesak dan airmataku kering. Hari itu menjadi hari paling menyedihkan dalam hidupku.
Tak kulihat suamiku di sampingku keesokan paginya. Entah kemana ia.
Tanpa sadar aku, layaknya aktris berakting di sinetron-sinetron,
memandangi foto-foto kami dulu dengan berlinang airmata. Ngiris hati
ini. Andai saja ada lagu Goodbye dari Air Supply yang mengiringiku,
tentu semuanya menjadi scene yang sempurna.
Sekilas kenangan lama bermunculan di benakku. Aku teringat pertama
kali aku bertemu suamiku, teringat apa yang aku rasakan saat ia
melamarku. Aku tersenyum kecil hingga akhirnya tertawa saat mengingat malam pertamaku. Ha ha ha.
Anak-anakku datang saat melihat ibu mereka ini tertawa, memelukku
tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Mereka masih kecil-kecil.
Kupandangi mereka satu per satu.... Mereka mirip ayahnya. Aku jadi
teringat saat pertama kali kukatakan padanya bahwa ia akan menjadi
ayah. Hhmmm...
Ku lalui hari-hari penuh kekhawatiran bersamanya, menunggu kelahiran
buah
cinta kami. Dengan penuh kasih sayang, suamiku memegang tanganku,
mencoba menenangkanku saat sang khalifah baru lahir, walaupun kutahu ia
hampir saja pingsan. Keningku diciumnya saat semuanya berakhir walaupun
wajahku penuh keringat saat itu. Saat kubuka mataku, disampingku ia
duduk menggendong bayi mungil itu. Bersamanya, kubeli tiket ke surga...
"Mi, abi mana?" suara anakku mengejutkan lamunanku. Tak sanggup
kumenjawabnya. Hampir saja aku menangis lagi.
Tiba-tiba
kulihat sesosok bayangan dari balik dinding. Suamiku datang. Rupanya
tadi malam ia tidur di masjid. Ia melihatku bersama anak-anakku. Mereka
berhamburan menyambut ayahnya, memeluk lututnya karena mereka belum
cukup tinggi menggapai bahu ayahnya itu. Ia membawakan makanan untuk
mereka.
Saat anak-anak sibuk dengan makanan itu, ia
menghampiriku. Aku mencoba untuk biasa dan kuajak ia melihat foto-foto
lama kami. Bernostalgia. Aku tertawa bersamanya. Mengingat yang telah
lewat.
Sesekali ia memandangku lembut. Aku tahu ia sedang
berfikir. Namun aku khawatir ia sedang meyakinkan hatinya untuk
benar-benar menceraikan aku dan mengatur kata-kata agar aku dapat
menerima keputusannya.
Saat ia diam dan memandangku dalam-dalam,
kukatakan padanya bahwa aku merindukannya sejak tadi malam. Ia
tersenyum dan mengatakan bahwa ia pun merasakan hal yang sama.
Hatiku
lega. Kututup album foto itu dan kukatakan padanya bahwa selain dari
semua kekuranganku tentu ada kelebihanku, selain dari semua yang tidak
disukainya tentu ada yang disukainya, selain dari semua ketidakcocokan
kita tentu ada bagian yang cocok. "Bila tidak, apa alasan Abang mau
menikahi Dinda dulu? Dan .. bagaimana mungkin kita bisa bertahan selama
ini?"
Ia mencium keningku. Kurasakan air mata mengalir hangat di pipiku.
Tapi bukan air mataku...
"Allah memang hanya menciptakan Dinda buat Abang... Maafin Abang
ya..."
Kuusap air mata dari pipinya dan ia membaringkan kepalanya di
pangkuanku...
"Maafin Dinda juga ya, Bang..."
Entah apa yang membuatnya berubah pikiran. Aku tak ingin
menanyakannya.
Hanya dengan berada di sisiku pagi itu, aku rasa aku tahu
jawabannya...
Pernikahan itu bisa berumur panjang bila ada usaha untuk
memanjangkannya dan bisa berumur pendek bila tidak ada yang mau
berfikir panjang.
(Untuk pangeranku, aku ingin beranjak tua bersamamu... atas izin
Allah)Sumber: http://irdy74.multiply.com/journal?&page_start=240
Tidak ada komentar:
Posting Komentar